BAB I
PENDAHULUAN
Ibnul Qayyim berkata, ”Tawakal adalah faktor paling utama yang bisa
mempertahankan seseorang ketika tidak memiliki kekuatan dari serangan makhluk
lainnya yang menindas serta memusuhinya. Tawakal adalah sarana yang paling
ampuh untuk menghadapi keadaan seperti itu, karena ia telah menjadikan Allah
sebagai pelindungnya atau yang memberinya kecukupan. Maka barang siapa yang
menjadikan Allah sebagai pelindungnya serta yang memberinya kecukupan, maka
musuhnya itu tak akan bisa mendatangkan bahaya padanya.” (Bada’i Al-Fawa’id
2/268)
Ketika
Nabi Sulaiman 'alaihisalam. mendapatkan puncak kenikmatan dunia, beliau berkata,“Ini
adalah bagian dari karunia Allah, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau
kufur.” (An-Naml: 40). Ketika Qarun mendapatkan harta yang sangat
banyak, dia mengatakan, “Sesungguhnya harta kekayaan ini, tidak lain kecuali
dari hasil kehebatan ilmuku.” (Al-Qashash: 78).
Dua kisah
yang bertolak belakang di atas menghasilkan akhir kesudahan yang berbeda. Nabi
Sulaiman 'alaihisalam mendapatkan karunia di dunia dan akhirat. Sedangkan Qarun
mendapat adzab di dunia dan akhirat karena kekufurannya akan nikmat
Allah.Demikianlah, fragmen hidup manusia tidak terlepas dari dua golongan
tersebut. Golongan pertama, manusia yang mendapatkan nikmat Allah dan mereka
mensyukurinya dengan sepenuh hati. Dan golongan kedua, manusia yang mendapatkan
banyak nikmat lalu mereka kufur.
Selain sifat manusia yang lemah, mudah lupa,
khilaf, kikir dan berkeluh kesah, penyebab terjerumusnya manusia ke dalam
lembah kenistaan dan kemaksiatan adalah godaan syaithan yang gencar dari segala
penjuru. Dalam QS. Az-Zukhruf:36-37, Allah Subhanahu Wata'ala berfirman: “Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran
Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Qur’an), kami adakan baginya syaithan (yang
menyesatkan)”. Maka syaithan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya
(qarin). Dan sesungguhnya syaithan-syaithan itu benar-benar menghalangi mereka
dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk”. Menyadari
begitu rentan dan lemahnya kita sebagai manusia dari godaan syaithan yang
menyesatkan dan menghalangi kita dari ajaran Allah serta melalaikan kita dari
mengingat-Nya, maka jelas pemahaman dan kesadaran muraqabah dan muhasabah
adalah satu kemestian.
Agama Islam tidak memandang manusia bagaikan
malaikat tanpa kesalahan dan dosa sebagaimana Islam tidak membiarkan manusia
berputus asa dari ampunan Allah, betapa pun dosa yang telah diperbuat manusia.
Bahkan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam telah membenarkan hal ini dalam sebuah sabdanya yang
berbunyi: "Setiap anak Adam pernah
berbuat kesalahan/dosa dan sebaik-baik orang yang berbuat dosa adalah mereka
yang bertaubat (dari kesalahan tersebut)." Di antara kita pernah
berbuat kesalahan terhadap diri sendiri sebagaimana terhadap keluarga dan
kerabat bahkan terhadap Allah. Dengan segala rahmatnya, Allah memberikan jalan
kembali kepada ketaatan, ampunan dan rahmat-Nya dengan sifat-sifat-Nya yang
Maha Penyayang dan Maha Penerima Taubat. Seperti diterangkan dalam surat Al
Baqarah: 160 "Dan Akulah yang Maha
Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." Taubat dari segala
kesalahan tidaklah membuat seorang terhina di hadapan Tuhannya. Hal itu justru
akan menambah kecintaan dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya karena
sesungguhnya Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan
diri. Sebagaimana firmanya dalam surat Al-Baqarah: 222, "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikandiri."
BAB II
ISI
A. TAWAKKAL
Dari segi
bahasa, tawakal berasal dari kata ‘tawakala’ yang memiliki arti; menyerahkan,
mempercayakan dan mewakilkan. (Munawir, 1984 : 1687). Seseorang yang bertawakal
adalah seseorang yang menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan segala
urusannya hanya kepada Allah Subhanahu Wata'ala.
Tawakal
adalah kesungguhan hati dalam bersandar kepada AllAh Ta’ala untuk mendapatkan
kemaslahatan serta mencegah bahaya, baik menyangkut urusan dunia maupun
akhirat. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,
”Dan barangsiapa bertaqwa kepada
Allah, niscaya Dia akan jadikan baginya jalan keluar dan memberi rizqi dari
arah yang tiada ia sangka-sangka, dan barangsiapa bertawakal kepada Alloh, maka
Dia itu cukup baginya.”
(Ath Tholaq: 2-3)
Makna Bertawakal Kepada Allah
التوكل واليقين
حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَدَّثَنَا حَيْوَةُ
أَخْبَرَنِي بَكْرُ بْنُ عَمْرٍو أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ هُبَيْرَةَ
يَقُولُ إِنَّهُ سَمِعَ أَبَا تَمِيمٍ الْجَيْشَانِيَّ يَقُولُ سَمِعَ عُمَرَ بْنَ
الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ إِنَّهُ سَمِعَ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ
حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا
وَتَرُوحُ بِطَانًا (رواه أحمد)
“Dari
Umar bin Khattab radhiyallohu’anhu berkata, bahwa beliau mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
‘Sekiranya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah Subhanahu Wata'ala dengan tawakal yang
sebenar-benarnya, sungguh kalian akan diberi rizki (oleh Allah Subhanahu Wata'ala ,
sebagaimana seekor burung diberi rizki; dimana ia pergi pada pagi hari dalam
keadaan lapar, dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu
Majah).
Banyak di
antara para ulama yang telah menjelaskan makna tawakal, diantaranya adalah :
1. Al Allamah Al Munawi. Beliau
mengatakan, “Tawakal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri)
kepada yang ditawakali.” (Faidhul Qadir, 5/311).
2. Ibnu ‘Abbas radhiyallohu’anhuma
mengatakan bahwa tawakal bermakna percaya sepenuhnya kepada Alloh Ta’ala.
3. Imam Ahmad mengatakan, ”Tawakal
berarti memutuskan pencarian disertai keputus-asaan terhadap makhluk.”
4. Al Hasan Al Bashri pernah ditanya
tentang tawakal, maka beliau menjawab, ”Ridho kepada Alloh Ta’ala”,
5. Ibnu Rojab Al Hanbali mengatakan, ”Tawakal
adalah bersandarnya hati dengan sebenarnya kepada Alloh Ta’ala dalam memperoleh
kemashlahatan dan menolak bahaya, baik urusan dunia maupun akhirat secara
keseluruhan.”
6. Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani
mengatakan, ”Tawakal yaitu memalingkan pandangan dari berbagai sebab setelah
sebab disiapkan.”.
Derajat Tawakal
Tawakal merupakan gabungan berbagai
unsur yang menjadi satu, dimana tawakal tidak dapat terealisasikan tanpa adanya
unsur-unsur tersebut. Unsur-unsur ini juga merupakan derajat dari tawakal itu
sendiri:
1.Derajat pertama dari tawakal
adalah : Ma’rifat kepada Allah Subhanahu Wata'ala dengan segala sifat-sifat-Nya minimal
meliputi tentang kekuasaan-Nya keagungan-Nya, keluasan ilmu-Nya, keluasan
kekayaan-Nya, bahwa segala urusan akan kembali pada-Nya, dan segala sesuatu
terjadi karena kehendak-Nya, dsb.
2. Derajat tawakal yang kedua adalah
: Memiliki keyakinan akan keharusan melakukan usaha. Karena siapa yang
menafikan keharusan adanya usaha, maka tawakalnya tidak benar sama sekali.
Seperti seseorang yang ingin pergi haji, kemudian dia hanya duduk di rumahnya,
maka sampai kapanpun ia tidak akan pernah sampai ke Mekah. Namun hendaknya ia
memulai dengan menabung, kemudian pergi kesana denan kendaraan yang dapat
menyampaikannya ke tujuannya tersebut.
3. Derajat Tawakal yang ketiga
adalah : Adanya ketetapan hati dalam mentauhidkan (mengesakan) Dzat yang
ditawakali, yaitu Allah Subhanahu Wata'ala Karena tawakal memang harus disertai dengan
keyakinan akan ketauhidan Allah. Jika hati memiliki ikatan
kesyirikan-kesyirikan dengan sesuatu selain Allah, maka batallah
ketawakalannya.
4.Derajat tawakal yang keempat
adalah : Menyandarkan hati sepenuhnya hanya kepada Allah Subhanahu Wata'ala, dan menjadikan
situasi bahwa hati yang tenang hanyalah ketika mengingatkan diri kepada-Nya.
Hal ini seperti kondisi seorang bayi, yang hanya bisa tenang dan tentram bila
berada di susuan ibunya. Demikian juga seorang hamba yang bertawakal, dia hanya
akan bisa tenang dan tentram jika berada di ‘susuan’ Allah Subhanahu Wata'ala.
5. Derajat
tawakal yang kelimana adalah : Husnudzan (baca ; berbaik sangka) terhadap Allah Subhanahu Wata'ala Karena tidak mungkin seseorang bertawakal terhadap sesuatu yang dia bersu’udzan
kepadanya. Tawakal hanya dapat dilakukan terhadap sesuatu yang dihusndzani dan
yang diharapkannya.
6. Derajat
Tawakal yang keeman adalah : Memasrahkan jiwa sepenuhya hanya kepada Allah Subhanahu Wata'ala
Karena orang yang bertawakal harus sepenuh hatinya menyerahkan segala sesuatu
terhadap yang ditawakali. Tawakal tidak akan mungkin terjadi, jika tidak dengan
sepenuh hati memasrahkan hatinya kepada Allah.
7.Derajat
tawakal yang ketujuh yaitu : Menyerahkan, mewakilkan, mengharapkan, dan
memasrahkan segala sesuatu hanya kepada Allah Subhanahu Wata'ala Dan hal inilah yang
merupakan hakekat dari tawakal. Allah Subhanahu Wata'ala berfirman: (QS. 40 : 44)
B.
SYUKUR
secara terminology
berasal dari kata bahasa Arab, berasal dari kata شكر-يشكر-شكرا‘’ yang berarti berterima kasih kepada atau
dari kata lain ‘’ شكر‘’
yang berati pujian atau ucapan terima kasih atau peryataan terima kasih. Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia
syukur memiliki dua arti yang pertama, syukur berarti rasa berterima kasih
kepada Allah dan yang kedua, syukur berarti untunglah atau merasa lega atau
senang dll. Sedangkan salah satu kutipan lain menjelaskan bahwa syukur adalah
gambaran dalam benak tetang nikmat dan menampakkannya ke permukaan. Lain hal
dengan sebagaian ulama yang menjelaskan syukur berasal dari kata ‘’syakara’’
yang berarti membuka yang dilawan dengan kata ‘’kufur’’ yang berarti ‘’menutup
atau melupakan segala nikmat dan menutup-nutupinya. Hal ini berdasarkan ayat 7
surat Ibrahim sbb : “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu
memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih”. [14:7]
Serta
dalam surat An-Naml ayat 40 yang dilakukan oleh nabi sulaiman as sbb:
Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: “Aku akan membawa
singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat
singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia
Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan
ni’mat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur
untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya
Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”. [27:40]
Jadi hakikat syukur yang sebenarnya adalah ‘’
menampakan nikmat dengan artian bahwa syukur adalah menggunakan pada tempat dan
sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemeberinya yaitu Allah SWT
Rukun Syukur
Para ulama menyebutkan bahwa rukun
syukur ada tiga, yaitu i’tiraaf (mengakui), tahaddust (menyebutkan), dan Taat.
1. Al-I’tiraaf
Pengakuan bahwa segala nikmat dari
Allah adalah suatu prinsip yang sangat penting, karena sikap ini muncul dari
ketawadhuan seseorang. Sebaliknya jika seseorang tidak mengakui nikmat itu
bersumber dari Allah, maka merekalah orang-orang takabur. Tiada daya dan
kekuatan kecuali bersumber dari Allah saja. “Hai manusia, kamulah yang
berkehendak kepada Allah; dan Allah dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan
sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Fathir: 15)
2. At-Tahadduts
“Dan
terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.” (Ad-Duhaa: 11)
Orang beriman minimal mengucapkan
hamdalah (alhamdulillah) ketika mendapatkan kenikmatan sebagai refleksi
syukur kepada Allah. Demikianlah betapa pentingnya hamdalah, dan Allah
mengajari pada hamba-Nya dengan mengulang-ulang ungkapan alhamdulillah
dalam Al-Qur’an dalam mengawali ayat-ayat-Nya.Sedangkan ungkapan minimal yang
harus diucapkan orang beriman, ketika mendapatkan kebaikan melalui perantaraan
manusia, mengucapkan pujian dan do’a, misalnya, jazaakallah khairan
(semoga Allah membalas kebaikanmu). Disebutkan dalam hadits Bukhari dan Muslim
dari Anas radhiyallohu’anhu., bahwa kaum Muhajirin
berkata pada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam., ”Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam , orang Anshar memborong
semua pahala.” Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam. bersabda, ”Tidak, selagi kamu mendoakan dan memuji
kebaikan mereka.”Dan ucapan syukur yang paling puncak ketika kita
menyampaikan kenikmatan yang paling puncak yaitu Islam, dengan cara
mendakwahkan kepada manusia.
3. At-Tha’ah
Allah menyebutkan bahwa para nabi
adalah hamba-hamba Allah yang paling bersyukur dengan melaksanakan puncak
ketaatan dan pengorbanan. Dan contoh-contoh tersebut sangat tampak pada lima
rasul utama: Nabi Nuh 'alahissalam., Nabi Ibrahim 'alahissalam , Nabi Musa 'alahissalam Nabi Isa 'alahissalam,
dan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam. Allah. menyebutkan tentang Nuh 'alahissalam. “Sesungguhnya
dia (Nuh 'alahissalam ) adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (Al-Israa: 3)
Dalam
riwayat lain disebutkan dari Atha, berkata, aku bertanya pada ‘Aisyah,
“Ceritakan padaku sesuatu yang paling engkau kagumi yang engkau lihat dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ” Aisyah berkata, “Adakah urusannya yang tidak mengagumkan? Pada
suatu malam beliau mendatangiku dan berkata, ”Biarkanlah aku menyembah Rabbku.”
Maka beliau bangkit berwudhu dan shalat. Beliau menangis sampai airmatanya
mengalir di dadanya, kemudian ruku dan menangis, kemudian sujud dan menangis,
kemudian mengangkat mukanya dan menangis. Dan beliau tetap dalam kondisi
seperti itu sampai Bilal mengumandangkan adzan salta.” Aku berkata, “Wahai
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam , apa yang membuat engkau menangis padahal Allah sudah
mengampuni dosa yang lalu dan yang akan datang?” Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam berkata, “Tidak
bolehkah aku menjadi hamba Allah yang bersyukur?” (Ibnul Mundzir, Ibnu Hibban,
Ibnu Mardawaih, dan Ibnu ‘Asakir).
C. MURAQABAH
DAN MUHASABAH
Muraqabah
adalah upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah (muraqabatullah).
Jadi upaya untuk menghadirkan muraqabatullah dalam diri dengan jalan mewaspadai
dan mengawasi diri sendiri. Sedangkan muhasabah merupakan usaha seorang Muslim
untuk menghitung, mengkalkulasi diri seberapa banyak dosa yang telah dilakukan
dan mana-mana saja kebaikan yang belum dilakukannya. Jadi Muhasabah adalah
sebuah upaya untuk selalu menghadirkan kesadaran bahwa segala sesuatu yang
dikerjakannya tengah dihisab, dicatat oleh Raqib dan Atib sehingga ia pun
berusaha aktif menghisab dirinya terlebih dulu agar dapat bergegas memperbaiki
diri.
Tahapan-tahapan Muraqabah dan Muhasabah
Ada beberapa tahapan yang memiliki keterkaitan erat satu sama lain
dan membangun sistem pengawasan serta penjagaan yang kokoh. Kesemua tahapan
tersebut penting kita jalani agar benar-benar menjadi “safety net” (jaring
pengaman) yang menyelamatkan kita dari keterperosokan dan keterpurukan di dunia
serta kehancuran di akhirat nanti.
1. Mu’ahadah.
Mu’ahadah
yakni mengingat dan mengokohkan kembali perjanjian kita dengan Allah Subhanahu Wata'ala di
alam ruh. Di sana sebelum kita menjadi janin yang diletakkan di dalam rahim ibu
kita dan ditiupkan ruh, kita sudah dimintai kesaksian oleh Allah, “Bukankah Aku
ini Rabbmu?” Mereka menjawab: “Benar (Engkau Rabb kami), kami menjadi
saksi”.(QS. 7:172)
Dengan
bermu’ahadah, kita akan berusaha menjaga agar sikap dan tindak tanduk kita
tidak keluar dari kerangka perjanjian dan kesaksian kita. Dan kita
hendaknya selalu mengingat juga bahwa kita tak hanya lahir suci (HR.
Bukhari-Muslim) melainkan sudah memiliki keberpihakan pada Al-haq dengan
syahadah di alam ruh tersebut sehingga tentu saja kita tak boleh merubah atau
mencederainya (QS. 30:30)
2. Muraqabah.
Setelah
bermu’ahadah, seyogyanyalah kita bermuraqabah. Jadi kita akan sadar ada yang
selalu memuraqabahi diri kita apakah melanggar janji dan kesaksian tersebut
atau tidak.Penjelasan yang detail tentang muraqabah diuraikan dalam bagian
tersendiri, karena tulisan ini memang menitikberatkan pada pembahasan tentang
muraqabah dan muhasabah.
3. Muhasabah.
Muhasabah
adalah usaha untuk menilai, menghitung, mengkalkulasi amal shaleh yang kita
lakukan dan kesalahan-kesalahan atau maksiat yang kita kerjakan. Penjabaran
lebih detail tentang muhasabah juga ada pada bagian tersendiri.
4. Mu’aqabah.
Selain
mengingat perjanjian (mu’ahadah), sadar akan pengawasan (muraqabah) dan sibuk
mengkalkulasi diri, kita pun perlu meneladani para sahabat dan salafus-shaleh
dalam meng’iqab (menghukum/menjatuhi sanksi atas diri mereka sendiri). Bila
Umar radhiyallohu’anhu terkenal dengan ucapan: “Hisablah dirimu sebelum kelak engkau
dihisab”, maka tak ada salahnya kita menganalogikan mu’aqabah dengan ucapan
tersebut yakni “Iqablah dirimu sebelum kelak engkau diiqab”. Umar Ibnul Khathab
pernah terlalaikan dari menunaikan shalat dzuhur berjamaah di masjid karena
sibuk mengawasi kebunnya. Lalu karena ia merasa ketertambatan hatinya kepada
kebun melalaikannya dari bersegera mengingat Allah, maka ia pun cepat-cepat
menghibahkan kebun beserta isinya tersebut untuk keperluan fakir miskin. Hal
serupa itu pula yang dilakukan Abu Thalhah ketika beliau terlupakan berapa
jumlah rakaatnya saat shalat karena melihat burung terbang. Ia pun segera
menghibahkan kebunnya beserta seluruh isinya, subhanallah.
5. Mujahadah
Mujahadah
adalah upaya keras untuk bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah kepada Allah, menjauhi
segala yang dilarang Allah dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan-Nya.
Kelalaian sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam yakni Ka’ab bin Malik sehingga tertinggal rombongan
saat perang Tabuk adalah karena ia sempat kurang bermujahadah untuk mempersiapkan
kuda perang dan sebagainya. Ka’ab bin Malik mengakui dengan jujur kelalaian dan
kurangnya mujahadah pada dirinya, Ternyata Kaab harus membayar sangat mahal berupa
pengasingan/pengisoliran selama kurang lebih 50 hari sebelum akhirnya turun
ayat Allah yang memberikan pengampunan padanya. Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam terkenal dengan
mujahadahnya yang luar biasa dalam ibadah seperti dalam shalat tahajjudnya.
Kaki beliau sampai bengkak karena terlalu lama berdiri. Namun ketika isteri
beliau Ummul Mukminin Aisyah bertanya, “Kenapa engkau menyiksa dirimu
seperti itu, bukankah sudah diampuni, seluruh dosamu yang lalu dan yang akan
datang”. Beliau menjawab. “Salahkah aku bila menjadi ‘abdan syakuran?”.
6. Mutaba’ah.
Terakhir
kita perlu memonitoring, mengontrol dan mengevaluasi sejauh mana proses-proses
tersebut seperti mu’ahadah dan seterusnya berjalan dengan baik.
D. TAUBAT
Menurut Taubat bahasa: Kembali, sedangkan menurut istilah: Kembali mendekat pada Allah setelah menjauh dari-Nya. Hakikat taubat adalah: Menyesal terhadap apa yang telah terjadi, meninggalkan perbuatan tersebut saat ini juga, dan ber-azam yang kuat untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut dimasa yang akan datang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan
tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan
(yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah)
ia mengatakan. ‘Sesungguhnya saya bertaubat sekarang” [An-Nisa : 18]
Taubat nashuha adalah kembalinya seorang hamba
kepada Allah Ta'ala, tidak ada sekutu bagi-Nya dari dosa yang pernah ia lakukan
karena sengaja atau lupa dengan kembali secara benar, ikhlas, percaya, dan
berhukum dengan ketaatan yang akan mengantarkan hamba tersebut kepada kedudukan
para wali Allah yang bertakwa serta menjauhkan antara ia dengan jalan-jalan
syaitan.
Macam-Macam Dosa dan Jalan Menuju Taubat
Macam-Macam Dosa
1. Dosa Besar. Yaitu dosa yang disertai ancaman hukuman di dunia, atau ancaman
hukuman di akhirat. Abu Tholib Al-Makki berkata: Dosa besar itu ada 17 macam.
4 macam di hati, yaitu: 1. Syirik. 2. Terus menerus berbuat maksiat. 3. Putus asa. 4. Merasa aman dari siksa Allah. 4 macam pada lisan, yaitu: 1. Kesaksian palsu. 2. Menuduh berbuat zina pada wanita baik-baik. 3. Sumpah palsu. 4. mengamalkan sihir. 3 macam di perut. 1. Minum Khamer. 2. memakan harta anak yatim. 3. memakan riba. 2 macam di kemaluan. 1. zina. 2. Homo seksual. 2 macam di tangan. 1. membunuh. 2. mencuri. 1 di kaki, yaitu lari dalam peperangan 1 di seluruh badan, yaitu durhaka terhadap orang tua.
2. Dosa kecil. Yaitu dosa-dosa yang tidak tersebut diatas.
3. Dosa kecil yang menjadi besar
Jalan Menuju Taubat
1. Mengetahui hakikat taubat. Hakikat taubat adalah: Menyesal, meninggalkan kemaksiatan tersebut dan berazam untuk tidak mengulanginya lagi. Sahal bin Abdillah berkata: “Tanda-tanda orang yang bertaubat adalah: Dosanya telah menyibukkan dia dari makan dan minum-nya. Seperti kisah tiga sahabat yang tertinggal perang”.
2. Merasakan akibat dosa yang dilakukan. Ulama salaf berkata: “Sungguh ketika maksiat pada Allah, saya bisa melihat akibat dari maksiat saya itu pada kuda dan istri saya.”
3. Menghindar dari lingkungan yang jelek. Seperti dalam kisah seorang yang
membunuh 100 orang. Gurunya berkata: “Pergilah ke negeri sana … sesungguhnya disana ada orang-orang yang menyembah Allah dengan baik, maka sembahlah Allah disana bersama mereka dan janganlah kamu kembali ke negerimu, karena negerimu adalah negeri yang jelek.”
4. Membaca Al-Qur’an dan mentadabburinya.
5. Berdo’a. Allah berfirman mengkisahkan Nabi Ibrahim: “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” Al Maraghi berkata: “Yang dimaksud ”terimalah taubat kami” adalah: Bantulah kami untuk bertaubat agar kami bisa bertaubat dan kembali kepada-Mu.”
6. Mengetahui keagungan Allah yang Maha Pencipta. Para ulama salaf berkata: “Janganlah engkau melihat akan kecilnya maksiat, tapi lihatlah keagungan yang engkau durhakai.”
7. Mengingat mati dan kejadiannya yang tiba-tiba.
8. Mempelajari ayat-ayat dan hadis-hadis yang menakuti orang-orang yang berdosa.
9. Membaca sejarah orang-orang yang bertaubat.
Alasan mengapa kita harus bertobat
1. Taubat adalah merupakan kebutuhan
manusia.
Taubat adalah merupakan kebutuhan
manusia, karena manusia ini tidak lepas dari kesalahan. Sebagaimana Nabi
Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :“Kullu bani aadama
khoththooun wa khoirul khoththtooiina at tawwaabuun”.(“Setiap Anak Adam pasti
ada saja berbuat salah (khilaf), tetapi sebaik-baik yang berbuat kesalahan
adalah mereka yang bertaubat”).
2. Taubat merupakan perintah Allah
kepada seluruh orang yang beriman.
Allah Swt memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk selalu bertobat kepadaNya, sebagaimana firmanNya dalam surat At-Tahriim, 66:8, yang artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukan kamu ke dalam syurga yang mengalir di bawahanya sungai-sungai”.
Allah Swt memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk selalu bertobat kepadaNya, sebagaimana firmanNya dalam surat At-Tahriim, 66:8, yang artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukan kamu ke dalam syurga yang mengalir di bawahanya sungai-sungai”.
3. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sebagai teladan
orang-orang beriman adalah Imaam at Tawwabiin (pemimpin orang-orang yang
bertaubat).
Rasul yang wajib kita ikuti, beliau tidak pernah kurang dari 70-100 kali beristigfar dan bertaubat. Dalam hadits riwayat Bukhary belaiau berkata;
“Wallahi inni laastaghfiru wa atuubu ilallahi fi yaumin aktsaro min sab’iina marroh”.
(Demi Allah aku bertobat dan beristighfar dalam sehari lebih dari 70 kali). Nabi yang ma’sum, dosanya sudah diampuni, yang selalu melaksanakan perintah Allah, dalam sehari tidak kurang dari 70 kali beristigfar dan memohon ampun kepada Allah.
Rasul yang wajib kita ikuti, beliau tidak pernah kurang dari 70-100 kali beristigfar dan bertaubat. Dalam hadits riwayat Bukhary belaiau berkata;
“Wallahi inni laastaghfiru wa atuubu ilallahi fi yaumin aktsaro min sab’iina marroh”.
(Demi Allah aku bertobat dan beristighfar dalam sehari lebih dari 70 kali). Nabi yang ma’sum, dosanya sudah diampuni, yang selalu melaksanakan perintah Allah, dalam sehari tidak kurang dari 70 kali beristigfar dan memohon ampun kepada Allah.
4. Allah mencintai orang-orang yang
bertaubat.
Dan ini Allah sendiri yang mengatakannya, sebagimana firmanNya surat Al-Baqoroh, 2:222
“Sesungguhnya Allah maha menyukai orang-orang yang bertaubat dan dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”
Dan ini Allah sendiri yang mengatakannya, sebagimana firmanNya surat Al-Baqoroh, 2:222
“Sesungguhnya Allah maha menyukai orang-orang yang bertaubat dan dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”
BAB III
PENUTUP
III.1
Kesimpulan
1. Tawakal adalah kesungguhan hati
dalam bersandar kepada AllAh Ta’ala untuk mendapatkan kemaslahatan serta
mencegah bahaya, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat.
2. syukur adalah
gambaran dalam benak tetang nikmat dan menampakkannya ke permukaan. Lain hal
dengan sebagaian ulama yang menjelaskan syukur berasal dari kata ‘’syakara’’
yang berarti membuka yang dilawan dengan kata ‘’kufur’’ yang berarti ‘’menutup
atau melupakan segala nikmat dan menutup-nutupinya.
3.
Muraqabah adalah upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah
(muraqabatullah). Sedangkan muhasabah merupakan usaha
seorang Muslim untuk menghitung, mengkalkulasi diri seberapa banyak dosa yang
telah dilakukan dan mana-mana saja kebaikan yang belum dilakukannya.
4.
Taubat adalah Menyesal terhadap apa yang telah terjadi, meninggalkan perbuatan
tersebut saat ini juga, dan ber-azam yang kuat untuk tidak mengulangi perbuatan
tersebut dimasa yang akan datang.
III.2 Saran
Kami sebagai penyusun sangat mengharapkan kritik dan
saran dari para pembaca demi kesempurnaan dari makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Warson Munawir,Kamus Al
Munawir Arab Indonesia Terlengkap,Surabaya : Pustaka Progressif,
M.Quraish Shihab,1996,Wawasan Al-Qur’an
Tafsir Maudhui Atas Pelbagai Persoalan Umat,Bandung
Ar-Raghib Al-Isfahani, Al-Mufradat
Fi Gharib Al-Qur’an oleh M.Quraish Shihab dalam Wawasan Al- Qur’an Tafsir
Maudhui Atas Pelbagai Persoalan Umat,Bandung
Nukman, Mihrah syukur, 2009, Kuliah Akhlak,
Universitas Muslim Indonesia, Makassar.
Referensi :
http://permatacanberra.wordpress.com/2007/03/11/muraqabah-dan-muhasabah/
Tidak ada komentar :
Posting Komentar