Senin, 10 Juni 2013

Makalah Mata Kuliah Akhlak

BAB I
PENDAHULUAN

   Ibnul Qayyim berkata, ”Tawakal adalah faktor paling utama yang bisa mempertahankan seseorang ketika tidak memiliki kekuatan dari serangan makhluk lainnya yang menindas serta memusuhinya. Tawakal adalah sarana yang paling ampuh untuk menghadapi keadaan seperti itu, karena ia telah menjadikan Allah sebagai pelindungnya atau yang memberinya kecukupan. Maka barang siapa yang menjadikan Allah sebagai pelindungnya serta yang memberinya kecukupan, maka musuhnya itu tak akan bisa mendatangkan bahaya padanya.” (Bada’i Al-Fawa’id 2/268)
Ketika Nabi Sulaiman 'alaihisalam. mendapatkan puncak kenikmatan dunia, beliau berkata,“Ini adalah bagian dari karunia Allah, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau kufur.” (An-Naml: 40). Ketika Qarun mendapatkan harta yang sangat banyak, dia mengatakan, “Sesungguhnya harta kekayaan ini, tidak lain kecuali dari hasil kehebatan ilmuku.” (Al-Qashash: 78).
Dua kisah yang bertolak belakang di atas menghasilkan akhir kesudahan yang berbeda. Nabi Sulaiman 'alaihisalam mendapatkan karunia di dunia dan akhirat. Sedangkan Qarun mendapat adzab di dunia dan akhirat karena kekufurannya akan nikmat Allah.Demikianlah, fragmen hidup manusia tidak terlepas dari dua golongan tersebut. Golongan pertama, manusia yang mendapatkan nikmat Allah dan mereka mensyukurinya dengan sepenuh hati. Dan golongan kedua, manusia yang mendapatkan banyak nikmat lalu mereka kufur.
    Selain sifat manusia yang lemah, mudah lupa, khilaf, kikir dan berkeluh kesah, penyebab terjerumusnya manusia ke dalam lembah kenistaan dan kemaksiatan adalah godaan syaithan yang gencar dari segala penjuru. Dalam QS. Az-Zukhruf:36-37, Allah Subhanahu Wata'ala berfirman: “Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Qur’an), kami adakan baginya syaithan (yang menyesatkan). Maka syaithan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya (qarin). Dan sesungguhnya syaithan-syaithan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk”. Menyadari begitu rentan dan lemahnya kita sebagai manusia dari godaan syaithan yang menyesatkan dan menghalangi kita dari ajaran Allah serta melalaikan kita dari mengingat-Nya, maka jelas pemahaman dan kesadaran muraqabah dan muhasabah adalah satu kemestian.
    Agama Islam tidak memandang manusia bagaikan malaikat tanpa kesalahan dan dosa sebagaimana Islam tidak membiarkan manusia berputus asa dari ampunan Allah, betapa pun dosa yang telah diperbuat manusia. Bahkan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam telah membenarkan hal ini dalam sebuah sabdanya yang berbunyi: "Setiap anak Adam pernah berbuat kesalahan/dosa dan sebaik-baik orang yang berbuat dosa adalah mereka yang bertaubat (dari kesalahan tersebut)." Di antara kita pernah berbuat kesalahan terhadap diri sendiri sebagaimana terhadap keluarga dan kerabat bahkan terhadap Allah. Dengan segala rahmatnya, Allah memberikan jalan kembali kepada ketaatan, ampunan dan rahmat-Nya dengan sifat-sifat-Nya yang Maha Penyayang dan Maha Penerima Taubat. Seperti diterangkan dalam surat Al Baqarah: 160 "Dan Akulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." Taubat dari segala kesalahan tidaklah membuat seorang terhina di hadapan Tuhannya. Hal itu justru akan menambah kecintaan dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya karena sesungguhnya Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri. Sebagaimana firmanya dalam surat Al-Baqarah: 222, "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikandiri."

    







BAB II
ISI
A. TAWAKKAL
Dari segi bahasa, tawakal berasal dari kata ‘tawakala’ yang memiliki arti; menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan. (Munawir, 1984 : 1687). Seseorang yang bertawakal adalah seseorang yang menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan segala urusannya hanya kepada Allah Subhanahu Wata'ala.
Tawakal adalah kesungguhan hati dalam bersandar kepada AllAh Ta’ala untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah bahaya, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,
”Dan barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan jadikan baginya jalan keluar dan memberi rizqi dari arah yang tiada ia sangka-sangka, dan barangsiapa bertawakal kepada Alloh, maka Dia itu cukup baginya.” (Ath Tholaq: 2-3)
Makna Bertawakal Kepada Allah
التوكل واليقين
حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَدَّثَنَا حَيْوَةُ أَخْبَرَنِي بَكْرُ بْنُ عَمْرٍو أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ هُبَيْرَةَ يَقُولُ إِنَّهُ سَمِعَ أَبَا تَمِيمٍ الْجَيْشَانِيَّ يَقُولُ سَمِعَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ إِنَّهُ سَمِعَ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا (رواه أحمد)
“Dari Umar bin Khattab radhiyallohu’anhu berkata, bahwa beliau mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, ‘Sekiranya kalian benar-benar bertawakal kepada Allah Subhanahu Wata'ala dengan tawakal yang sebenar-benarnya, sungguh kalian akan diberi rizki (oleh Allah Subhanahu Wata'ala , sebagaimana seekor burung diberi rizki; dimana ia pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar, dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang” (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Banyak di antara para ulama yang telah menjelaskan makna tawakal, diantaranya adalah :
1.      Al Allamah Al Munawi. Beliau mengatakan, “Tawakal adalah menampakkan kelemahan serta penyandaran (diri) kepada yang ditawakali.” (Faidhul Qadir, 5/311).
2.      Ibnu ‘Abbas radhiyallohu’anhuma mengatakan bahwa tawakal bermakna percaya sepenuhnya kepada Alloh Ta’ala.
3.      Imam Ahmad mengatakan, ”Tawakal berarti memutuskan pencarian disertai keputus-asaan terhadap makhluk.”
4.      Al Hasan Al Bashri pernah ditanya tentang tawakal, maka beliau menjawab, ”Ridho kepada Alloh Ta’ala”,
5.      Ibnu Rojab Al Hanbali mengatakan, ”Tawakal adalah bersandarnya hati dengan sebenarnya kepada Alloh Ta’ala dalam memperoleh kemashlahatan dan menolak bahaya, baik urusan dunia maupun akhirat secara keseluruhan.”
6.      Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, ”Tawakal yaitu memalingkan pandangan dari berbagai sebab setelah sebab disiapkan.”.
Derajat Tawakal
Tawakal merupakan gabungan berbagai unsur yang menjadi satu, dimana tawakal tidak dapat terealisasikan tanpa adanya unsur-unsur tersebut. Unsur-unsur ini juga merupakan derajat dari tawakal itu sendiri:
1.Derajat pertama dari tawakal adalah : Ma’rifat kepada Allah Subhanahu Wata'ala dengan segala sifat-sifat-Nya minimal meliputi tentang kekuasaan-Nya keagungan-Nya, keluasan ilmu-Nya, keluasan kekayaan-Nya, bahwa segala urusan akan kembali pada-Nya, dan segala sesuatu terjadi karena kehendak-Nya, dsb.
2. Derajat tawakal yang kedua adalah : Memiliki keyakinan akan keharusan melakukan usaha. Karena siapa yang menafikan keharusan adanya usaha, maka tawakalnya tidak benar sama sekali. Seperti seseorang yang ingin pergi haji, kemudian dia hanya duduk di rumahnya, maka sampai kapanpun ia tidak akan pernah sampai ke Mekah. Namun hendaknya ia memulai dengan menabung, kemudian pergi kesana denan kendaraan yang dapat menyampaikannya ke tujuannya tersebut.
3. Derajat Tawakal yang ketiga adalah : Adanya ketetapan hati dalam mentauhidkan (mengesakan) Dzat yang ditawakali, yaitu Allah Subhanahu Wata'ala  Karena tawakal memang harus disertai dengan keyakinan akan ketauhidan Allah. Jika hati memiliki ikatan kesyirikan-kesyirikan dengan sesuatu selain Allah, maka batallah ketawakalannya.
4.Derajat tawakal yang keempat adalah : Menyandarkan hati sepenuhnya hanya kepada Allah Subhanahu Wata'ala, dan menjadikan situasi bahwa hati yang tenang hanyalah ketika mengingatkan diri kepada-Nya. Hal ini seperti kondisi seorang bayi, yang hanya bisa tenang dan tentram bila berada di susuan ibunya. Demikian juga seorang hamba yang bertawakal, dia hanya akan bisa tenang dan tentram jika berada di ‘susuan’ Allah Subhanahu Wata'ala.
5. Derajat tawakal yang kelimana adalah : Husnudzan (baca ; berbaik sangka) terhadap Allah Subhanahu Wata'ala  Karena tidak mungkin seseorang bertawakal terhadap sesuatu yang dia bersu’udzan kepadanya. Tawakal hanya dapat dilakukan terhadap sesuatu yang dihusndzani dan yang diharapkannya.
6. Derajat Tawakal yang keeman adalah : Memasrahkan jiwa sepenuhya hanya kepada Allah Subhanahu Wata'ala  Karena orang yang bertawakal harus sepenuh hatinya menyerahkan segala sesuatu terhadap yang ditawakali. Tawakal tidak akan mungkin terjadi, jika tidak dengan sepenuh hati memasrahkan hatinya kepada Allah.
7.Derajat tawakal yang ketujuh yaitu : Menyerahkan, mewakilkan, mengharapkan, dan memasrahkan segala sesuatu hanya kepada Allah Subhanahu Wata'ala  Dan hal inilah yang merupakan hakekat dari tawakal. Allah Subhanahu Wata'ala berfirman: (QS. 40 : 44)
B. SYUKUR
            secara terminology berasal dari kata bahasa Arab, berasal dari kata شكر-يشكر-شكرا‘’ yang berarti berterima kasih kepada atau dari kata lain ‘’ شكر‘’  yang berati pujian atau ucapan terima kasih atau peryataan terima kasih. Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia syukur memiliki dua arti yang pertama, syukur berarti rasa berterima kasih kepada Allah dan yang kedua, syukur berarti untunglah atau merasa lega atau senang dll. Sedangkan salah satu kutipan lain menjelaskan bahwa syukur adalah gambaran dalam benak tetang nikmat dan menampakkannya ke permukaan. Lain hal dengan sebagaian ulama yang menjelaskan syukur berasal dari kata ‘’syakara’’ yang berarti membuka yang dilawan dengan kata ‘’kufur’’ yang berarti ‘’menutup atau melupakan segala nikmat dan menutup-nutupinya. Hal ini berdasarkan ayat 7 surat Ibrahim sbb :  “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni’mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. [14:7]
 Serta dalam surat An-Naml ayat 40 yang dilakukan oleh nabi sulaiman as sbb:  Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan ni’mat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”. [27:40]
Jadi  hakikat syukur yang sebenarnya adalah ‘’ menampakan nikmat dengan artian bahwa syukur adalah menggunakan pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemeberinya yaitu Allah SWT
Rukun Syukur
Para ulama menyebutkan bahwa rukun syukur ada tiga, yaitu i’tiraaf (mengakui), tahaddust (menyebutkan), dan Taat.
1. Al-I’tiraaf
Pengakuan bahwa segala nikmat dari Allah adalah suatu prinsip yang sangat penting, karena sikap ini muncul dari ketawadhuan seseorang. Sebaliknya jika seseorang tidak mengakui nikmat itu bersumber dari Allah, maka merekalah orang-orang takabur. Tiada daya dan kekuatan kecuali bersumber dari Allah saja. “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Fathir: 15)
2. At-Tahadduts
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan.” (Ad-Duhaa: 11)
Orang beriman minimal mengucapkan hamdalah (alhamdulillah) ketika mendapatkan kenikmatan sebagai refleksi syukur kepada Allah. Demikianlah betapa pentingnya hamdalah, dan Allah mengajari pada hamba-Nya dengan mengulang-ulang ungkapan alhamdulillah dalam Al-Qur’an dalam mengawali ayat-ayat-Nya.Sedangkan ungkapan minimal yang harus diucapkan orang beriman, ketika mendapatkan kebaikan melalui perantaraan manusia, mengucapkan pujian dan do’a, misalnya, jazaakallah khairan (semoga Allah membalas kebaikanmu). Disebutkan dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Anas radhiyallohu’anhu., bahwa kaum Muhajirin berkata pada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam., ”Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam , orang Anshar memborong semua pahala.” Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam. bersabda, ”Tidak, selagi kamu mendoakan dan memuji kebaikan mereka.”Dan ucapan syukur yang paling puncak ketika kita menyampaikan kenikmatan yang paling puncak yaitu Islam, dengan cara mendakwahkan kepada manusia.
3. At-Tha’ah
Allah menyebutkan bahwa para nabi adalah hamba-hamba Allah yang paling bersyukur dengan melaksanakan puncak ketaatan dan pengorbanan. Dan contoh-contoh tersebut sangat tampak pada lima rasul utama: Nabi Nuh 'alahissalam., Nabi Ibrahim 'alahissalam , Nabi Musa 'alahissalam  Nabi Isa 'alahissalam, dan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam. Allah. menyebutkan tentang Nuh  'alahissalam. “Sesungguhnya dia (Nuh  'alahissalam ) adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (Al-Israa: 3)
Dalam riwayat lain disebutkan dari Atha, berkata, aku bertanya pada ‘Aisyah, “Ceritakan padaku sesuatu yang paling engkau kagumi yang engkau lihat dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ” Aisyah berkata, “Adakah urusannya yang tidak mengagumkan? Pada suatu malam beliau mendatangiku dan berkata, ”Biarkanlah aku menyembah Rabbku.” Maka beliau bangkit berwudhu dan shalat. Beliau menangis sampai airmatanya mengalir di dadanya, kemudian ruku dan menangis, kemudian sujud dan menangis, kemudian mengangkat mukanya dan menangis. Dan beliau tetap dalam kondisi seperti itu sampai Bilal mengumandangkan adzan salta.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam , apa yang membuat engkau menangis padahal Allah sudah mengampuni dosa yang lalu dan yang akan datang?” Rasul Shallallahu 'alaihi wasallam  berkata, “Tidak bolehkah aku menjadi hamba Allah yang bersyukur?” (Ibnul Mundzir, Ibnu Hibban, Ibnu Mardawaih, dan Ibnu ‘Asakir).

C. MURAQABAH DAN MUHASABAH

Muraqabah adalah upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah (muraqabatullah). Jadi upaya untuk menghadirkan muraqabatullah dalam diri dengan jalan mewaspadai dan mengawasi diri sendiri. Sedangkan muhasabah merupakan usaha seorang Muslim untuk menghitung, mengkalkulasi diri seberapa banyak dosa yang telah dilakukan dan mana-mana saja kebaikan yang belum dilakukannya. Jadi Muhasabah adalah sebuah upaya untuk selalu menghadirkan kesadaran bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya tengah dihisab, dicatat oleh Raqib dan Atib sehingga ia pun berusaha aktif menghisab dirinya terlebih dulu agar dapat bergegas memperbaiki diri.
Tahapan-tahapan Muraqabah dan Muhasabah
Ada beberapa tahapan yang memiliki keterkaitan erat satu sama lain dan membangun sistem pengawasan serta penjagaan yang kokoh. Kesemua tahapan tersebut penting kita jalani agar benar-benar menjadi “safety net” (jaring pengaman) yang menyelamatkan kita dari keterperosokan dan keterpurukan di dunia serta kehancuran di akhirat nanti.
1. Mu’ahadah.
Mu’ahadah yakni mengingat dan mengokohkan kembali perjanjian kita dengan Allah Subhanahu Wata'ala  di alam ruh. Di sana sebelum kita menjadi janin yang diletakkan di dalam rahim ibu kita dan ditiupkan ruh, kita sudah dimintai kesaksian oleh Allah, “Bukankah Aku ini Rabbmu?” Mereka menjawab: “Benar (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi”.(QS. 7:172)
Dengan bermu’ahadah, kita akan berusaha menjaga agar sikap dan tindak tanduk kita tidak keluar dari kerangka perjanjian dan kesaksian kita. Dan kita hendaknya selalu mengingat juga bahwa kita tak hanya lahir suci (HR. Bukhari-Muslim) melainkan sudah memiliki keberpihakan pada Al-haq dengan syahadah di alam ruh tersebut sehingga tentu saja kita tak boleh merubah atau mencederainya (QS. 30:30)
2. Muraqabah.
Setelah bermu’ahadah, seyogyanyalah kita bermuraqabah. Jadi kita akan sadar ada yang selalu memuraqabahi diri kita apakah melanggar janji dan kesaksian tersebut atau tidak.Penjelasan yang detail tentang muraqabah diuraikan dalam bagian tersendiri, karena tulisan ini memang menitikberatkan pada pembahasan tentang muraqabah dan muhasabah.
3. Muhasabah.
Muhasabah adalah usaha untuk menilai, menghitung, mengkalkulasi amal shaleh yang kita lakukan dan kesalahan-kesalahan atau maksiat yang kita kerjakan. Penjabaran lebih detail tentang muhasabah juga ada pada bagian tersendiri.
4. Mu’aqabah.
Selain mengingat perjanjian (mu’ahadah), sadar akan pengawasan (muraqabah) dan sibuk mengkalkulasi diri, kita pun perlu meneladani para sahabat dan salafus-shaleh dalam meng’iqab (menghukum/menjatuhi sanksi atas diri mereka sendiri). Bila Umar radhiyallohu’anhu terkenal dengan ucapan: “Hisablah dirimu sebelum kelak engkau dihisab”, maka tak ada salahnya kita menganalogikan mu’aqabah dengan ucapan tersebut yakni “Iqablah dirimu sebelum kelak engkau diiqab”. Umar Ibnul Khathab pernah terlalaikan dari menunaikan shalat dzuhur berjamaah di masjid karena sibuk mengawasi kebunnya. Lalu karena ia merasa ketertambatan hatinya kepada kebun melalaikannya dari bersegera mengingat Allah, maka ia pun cepat-cepat menghibahkan kebun beserta isinya tersebut untuk keperluan fakir miskin. Hal serupa itu pula yang dilakukan Abu Thalhah ketika beliau terlupakan berapa jumlah rakaatnya saat shalat karena melihat burung terbang. Ia pun segera menghibahkan kebunnya beserta seluruh isinya, subhanallah.
5. Mujahadah
Mujahadah adalah upaya keras untuk bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah kepada Allah, menjauhi segala yang dilarang Allah dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan-Nya. Kelalaian sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam  yakni Ka’ab bin Malik sehingga tertinggal rombongan saat perang Tabuk adalah karena ia sempat kurang bermujahadah untuk mempersiapkan kuda perang dan sebagainya. Ka’ab bin Malik mengakui dengan jujur kelalaian dan kurangnya mujahadah pada dirinya, Ternyata Kaab harus membayar sangat mahal berupa pengasingan/pengisoliran selama kurang lebih 50 hari sebelum akhirnya turun ayat Allah yang memberikan pengampunan padanya. Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam  terkenal dengan mujahadahnya yang luar biasa dalam ibadah seperti dalam shalat tahajjudnya. Kaki beliau sampai bengkak karena terlalu lama berdiri. Namun ketika isteri beliau Ummul Mukminin Aisyah  bertanya, “Kenapa engkau menyiksa dirimu seperti itu, bukankah sudah diampuni, seluruh dosamu yang lalu dan yang akan datang”. Beliau menjawab. “Salahkah aku bila menjadi ‘abdan syakuran?”.
6. Mutaba’ah.
Terakhir kita perlu memonitoring, mengontrol dan mengevaluasi sejauh mana proses-proses tersebut seperti mu’ahadah dan seterusnya berjalan dengan baik.
D. TAUBAT
Menurut  Taubat bahasa: Kembali, sedangkan menurut istilah: Kembali mendekat pada Allah setelah menjauh dari-Nya. Hakikat taubat adalah: Menyesal terhadap apa yang telah terjadi, meninggalkan perbuatan tersebut saat ini juga, dan ber-azam yang kuat untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut dimasa yang akan datang.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan. ‘Sesungguhnya saya bertaubat sekarang” [An-Nisa : 18]
Taubat nashuha adalah kembalinya seorang hamba kepada Allah Ta'ala, tidak ada sekutu bagi-Nya dari dosa yang pernah ia lakukan karena sengaja atau lupa dengan kembali secara benar, ikhlas, percaya, dan berhukum dengan ketaatan yang akan mengantarkan hamba tersebut kepada kedudukan para wali Allah yang bertakwa serta menjauhkan antara ia dengan jalan-jalan syaitan.
Macam-Macam Dosa dan Jalan Menuju Taubat 
     Macam-Macam Dosa     
     1. Dosa Besar. Yaitu dosa yang disertai ancaman hukuman di dunia, atau ancaman 
hukuman di akhirat. Abu Tholib Al-Makki berkata: Dosa besar itu ada 17 macam.
          4 macam di hati, yaitu: 1. Syirik. 2. Terus menerus berbuat maksiat. 3. Putus asa. 4. Merasa aman dari siksa Allah. 4 macam pada lisan, yaitu: 1. Kesaksian palsu. 2. Menuduh berbuat zina pada wanita baik-baik. 3. Sumpah palsu. 4. mengamalkan sihir. 3 macam di perut. 1. Minum Khamer. 2. memakan harta anak yatim. 3. memakan riba. 2 macam di kemaluan. 1. zina. 2. Homo seksual. 2 macam di tangan. 1. membunuh. 2. mencuri. 1 di kaki, yaitu lari dalam peperangan 1 di seluruh badan, yaitu durhaka terhadap orang tua. 
2. Dosa kecil. Yaitu dosa-dosa yang tidak tersebut diatas.
3. Dosa kecil yang menjadi besar
 
Jalan Menuju Taubat
1. Mengetahui hakikat taubat. Hakikat taubat adalah: Menyesal, meninggalkan kemaksiatan tersebut dan berazam untuk tidak mengulanginya lagi. Sahal bin Abdillah berkata: “Tanda-tanda orang yang bertaubat adalah: Dosanya telah  menyibukkan dia dari makan dan minum-nya. Seperti kisah tiga sahabat yang tertinggal perang”.
2. Merasakan akibat dosa yang dilakukan. Ulama salaf berkata: “Sungguh ketika maksiat pada Allah, saya bisa melihat akibat dari maksiat saya itu pada kuda dan istri saya.”
3. Menghindar dari lingkungan yang jelek. Seperti dalam kisah seorang yang 
membunuh 100 orang. Gurunya berkata: “Pergilah ke negeri sana … sesungguhnya disana ada orang-orang yang menyembah Allah dengan baik, maka sembahlah Allah disana bersama mereka dan janganlah kamu kembali ke negerimu, karena negerimu adalah negeri yang jelek.”
4. Membaca Al-Qur’an dan mentadabburinya.
5. Berdo’a. Allah berfirman mengkisahkan Nabi Ibrahim: “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” Al Maraghi berkata: “Yang dimaksud ”terimalah taubat kami” adalah: Bantulah kami untuk bertaubat agar kami bisa bertaubat dan kembali kepada-Mu.”
6. Mengetahui keagungan Allah yang Maha Pencipta. Para ulama salaf berkata: “Janganlah engkau melihat akan kecilnya maksiat, tapi lihatlah keagungan yang engkau durhakai.”
7. Mengingat mati dan kejadiannya yang tiba-tiba.
8. Mempelajari ayat-ayat dan hadis-hadis yang menakuti orang-orang yang berdosa.
9. Membaca sejarah orang-orang yang bertaubat.
 Alasan mengapa kita harus bertobat
1. Taubat adalah merupakan kebutuhan manusia.
Taubat adalah merupakan kebutuhan manusia, karena manusia ini tidak lepas dari kesalahan. Sebagaimana Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :“Kullu bani aadama khoththooun wa khoirul khoththtooiina at tawwaabuun”.(“Setiap Anak Adam pasti ada saja berbuat salah (khilaf), tetapi sebaik-baik yang berbuat kesalahan adalah mereka yang bertaubat”).
2. Taubat merupakan perintah Allah kepada seluruh orang yang beriman.
Allah Swt memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk selalu bertobat kepadaNya, sebagaimana firmanNya dalam surat At-Tahriim, 66:8, yang artinya:
”Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukan kamu ke dalam syurga yang mengalir di bawahanya sungai-sungai”.
3. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sebagai teladan orang-orang beriman adalah Imaam at Tawwabiin (pemimpin orang-orang yang bertaubat).
Rasul yang wajib kita ikuti, beliau tidak pernah kurang dari 70-100 kali beristigfar dan bertaubat. Dalam hadits riwayat Bukhary belaiau berkata;
“Wallahi inni laastaghfiru wa atuubu ilallahi fi yaumin aktsaro min sab’iina marroh”.
(Demi Allah aku bertobat dan beristighfar dalam sehari lebih dari 70 kali). Nabi yang ma’sum, dosanya sudah diampuni, yang selalu melaksanakan perintah Allah, dalam sehari tidak kurang dari 70 kali beristigfar dan memohon ampun kepada Allah.
4. Allah mencintai orang-orang yang bertaubat.
Dan ini Allah sendiri yang mengatakannya, sebagimana firmanNya surat Al-Baqoroh, 2:222
“Sesungguhnya Allah maha menyukai orang-orang yang bertaubat dan dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”
BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
1. Tawakal adalah kesungguhan hati dalam bersandar kepada AllAh Ta’ala untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah bahaya, baik menyangkut urusan dunia maupun akhirat.
2. syukur adalah gambaran dalam benak tetang nikmat dan menampakkannya ke permukaan. Lain hal dengan sebagaian ulama yang menjelaskan syukur berasal dari kata ‘’syakara’’ yang berarti membuka yang dilawan dengan kata ‘’kufur’’ yang berarti ‘’menutup atau melupakan segala nikmat dan menutup-nutupinya.
3. Muraqabah adalah upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah (muraqabatullah). Sedangkan muhasabah merupakan usaha seorang Muslim untuk menghitung, mengkalkulasi diri seberapa banyak dosa yang telah dilakukan dan mana-mana saja kebaikan yang belum dilakukannya.
4. Taubat adalah Menyesal terhadap apa yang telah terjadi, meninggalkan perbuatan tersebut saat ini juga, dan ber-azam yang kuat untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut dimasa yang akan datang.

III.2 Saran
Kami sebagai penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan dari makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Warson Munawir,Kamus Al Munawir Arab Indonesia Terlengkap,Surabaya : Pustaka   Progressif,

M.Quraish Shihab,1996,Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhui Atas Pelbagai Persoalan Umat,Bandung

Ar-Raghib Al-Isfahani, Al-Mufradat Fi Gharib Al-Qur’an oleh M.Quraish Shihab dalam Wawasan Al- Qur’an Tafsir Maudhui  Atas Pelbagai Persoalan Umat,Bandung

Nukman, Mihrah syukur, 2009, Kuliah Akhlak, Universitas Muslim Indonesia, Makassar.

Referensi :


http://permatacanberra.wordpress.com/2007/03/11/muraqabah-dan-muhasabah/





         





Tidak ada komentar :

Posting Komentar